Alhamdulillah, sejak lulus profesi dokter sebagai dokter umum, tidak pernah menganggur.
He he he, soalnya pekerjaan utama ya praktek mandiri di kampung beriringan dengan praktek bidan dan perawat yang relatif dekat
Sebagai profesi yang profesional, tentu lebih mudah bekerja mandiri atau freelance.
Kecuali yang masih berharap menjadi karyawan ya terkadang lebih membutuhkan waktu untuk memperoleh tempat bekerja (tetapi biasanya tidak lama, demand masih tinggi)
Freelance? ya boleh dibilang begitu, diawal lulus banyak menggantikan sejawat yang sudah bekerja di klinik/RS ketika berhalangan masuk, tak tanggung-tanggung bisa sampai 10 hari dan berulang.
Praktek mandiri di rumah, meneruskan praktek perawat mertua, alhamdulillah tidak memulai dari nol, hanya butuh waktu untuk melepas image dari nama mertua ke nama sendiri (+istri).
Branding nama dokter agak sulit, kenalnya perawat atau pak bidan (halah), gpp yang penting pasien puas.
Keterampilan klinis/tindakan banyak terbantu saat koas terutama di RS-RS satelit, harus serba bisa, ilmu obat-obatan saat pengobatan masal, selebihnya learning by doing
Yang paling sulit justru kendala bahasa, saya biasa bahasa jawa + Indonesia, pasien banyak berbahasa madura tanpa bisa bahasa Indonesia.
Perilaku berobat pasien kebanyakan tidak memberi info riwayat pengobatan sebelumnya, umumnya mengatakan kalau baru berobat pertama kali, padahal bisa sudah tempat praktik ke-3 yang sudah dikunjungi.
Barangkali mereka takut kalau dimarahi "Kenapa baru dibawa sekarang?", hal ini yang patut dihindari sebagai dokter, akhirnya lambat laun pasien dengan tenang menceritakan kronologi sakitnya secara benar termasuk pernah berobat dimana saja, apa obatnya.
Konsistensi jam buka menjadi tantangan, karena tawaran freelance kadang datang saat jam praktik mandiri, pintar-pintar mengatur, hingga saat ini sudah full untuk praktik di rumah, biarlah freelancenya diambil sejawat2 yang baru lulus.
No comments:
Post a Comment